Bacalah
kisah berikut ini dengan cermat!
Di
kota Thagaste, Afrika Utara, tinggallah sebuah keluarga dengan tiga orang anak.
Sang ibu bernama Monika. Sang ayah bernama Patrisius, seorang pejabat tinggi di
pemerintahan. Berbeda dengan sang ibu yang merupakan orang Kristen yang taat,
sang ayah membenci kekristenan. Tak segan-segan ia mencemooh istrinya bila
hendak mengajarkan iman Kristen kepada anak-anaknya. Di bawah pengaruh buruk
sang bapak, anak sulungnya hidup dalam pesta pora, foya-foya, dan pergaulan
bebas. Walaupun sang ibu terus menasihatinya, anak itu tetap saja bandel.
Melihat
perilaku anak sulung itu, Monika tentu sangat sedih. Segala cara sudah ia coba
untuk menyadarkannya. Namun, ia selalu gagal. Monika tidak putus asa. Dengan
sabar, ia terus berusaha membimbing anaknya. Ia juga tidak pernah putus berdoa
bagi anak dan suaminya. “Kiranya Tuhan yang mahabaik dan mahakasih, melindungi
dan membimbing suami dan puteraku ke jalan yang benar dan dikehendaki-Nya,”
demikian ia berdoa. Doa itu ia naikkan bertahun-tahun dengan tekun dan tabah.
Suatu
hari Patrisius sakit keras. Sesaat sebelum meninggal dunia, ia bertobat dan meminta
agar dibaptis. Sayangnya, hal tersebut tidak membuat anak tertuanya berubah. Ia
tetap hidup dalam dunia kelam, tidak mau bertobat dan terus menyakiti hati
ibunya. Hingga suatu saat sang anak memutuskan untuk meninggalkan ibunya dan
pergi ke Italia. Hati Monika benar-benar hancur. Ia begitu sedih harus berpisah
dari anaknya. Apalagi di usianya yang ke-29 tahun, anaknya itu belum berubah.
Namun Monika tidak kehilangan pengharapan. Ia terus mendoakan anaknya.
Saat
itu pun tiba. Di Italia, tepatnya di kota Milan, sang anak bertemu dengan Uskup
Ambrosius yang kemudian membimbingnya secara pribadi. Akhirnya tepat pada 24
April tahun 387, doa Ibu Monika yang dinaikkan lebih dari 20 tahun itu
terjawab. Hari itu, anaknya memberikan diri untuk dibaptis, memutuskan untuk
hidup baru, dan bertobat untuk kemudian meninggalkan dosa-dosanya.
Tujuh
bulan kemudian, sang anak kembali ke Afrika Utara dan kemudian menjadi Uskup di
Hippo pada usia 41 tahun. Sang anak adalah Agustinus, yang kemudian dikenal
sebagai seorang Bapa Gereja yang disegani dan dihormati. Seorang yang kemudian
sangat berpengaruh dalam sejarah gereja. Terima kasih kepada Ibu Monika, yang
tidak pernah kehilangan pengharapan dan tak sekalipun putus asa untuk mendoakan
anaknya. Pengharapan yang mengubah hal yang sebelumnya mustahil menjadi
kenyataan. (Sumber: Augustine of Hippo oleh Peter Brown, 1967).
0 Komentar